“Brak..” suara gelas pecah menghantam pintu, cukup membuat saya kaget,
dan om saya dengan marah-marah berjalan keluar kamar. Dari dalam kamar
terdengar tante saya berteriak, “Nggak usah pulang sekalian, cepet
ceraikan aku.” Dalam hatiku berkata, “Wah ribut lagi.” Om Pram langsung
berjalan keluar rumah, menstarter mobil Timornya dan pergi entah ke
mana.
Pelan-pelan kubuka pintu kamarnya. Dan kulihat dia menangis
menunduk di depan meja rias. Aku berinisiatif masuk pelan-pelan sambil
menghindari pecahan gelas yang tadi sempat dilemparkan oleh Tante Sis.
Kuhampiri dia dan dengan pelan.
Tiba-tiba Tante Sis berkata, “To,
Om kamu kayaknya udah nggak sayang lagi sama Tante. Sekarang dia pergi
bersama teman-temannya ke Stardust di Jakarta, ninggalin Tante sendirian
di rumah, apa Tante udah nggak cakep lagi.” Ketika Tante Sis berkata
demikian dia berbalik menatapku. Aku setengah kaget, ketika mataku tidak
sengaja menatap buah dadanya (kira-kira berukuran 34). Di situ terlihat
puting susunya yang tercetak dari daster yang dikenakannya. Aku lumayan
kaget juga menyaksikan tubuh tanteku itu.
Aku terdiam sebentar
dan aku ingat tadi Tante Sis menanyakan sesuatu, aku langsung
mendekatinya (dengan harapan dapat melihat payudaranya lebih dekat
lagi).
“Tante masih cantik kok, dan Om kan pergi sama temannya. Jadi nggak usah khawatir Tan!”
“Iya tapi temennya itu brengsek semua, mereka pasti mabuk-mabukan lagi dan main perempuan di sana.”
Aku
jadi bingung menjawabnya. Secara refleks kupegang tangannya dan
berkata, “Tenang aja Tan, Om nggak bakal macem-macem kok.” (tapi
pikiranku sudah mulai macam-macam).
“Tapi Tante denger dia punya
pacar di Jakarta, malahan Tante kemarin pergoki dia telponan ama cewek,
kalo nggak salah namanya Sella.”
“Masak Om tega sih ninggalin Tante
demi cewek yang baru kenal, mungkin itu temennya kali Tan, dan lagian
Tante masih tetap cantik kok.”
Tanpa Tante Sis sadari tangan kananku
sudah di atas paha Tante Sis karena tangan kiriku masih memegang
tangannya. Perlahan-lahan pahanya kuusap secara halus, hal ini kulakukan
karena aku berkesimpulan bahwa tanteku sudah lama tidak disentuh secara
lembut oleh lelaki.
Tiba-tiba tanganku yang memegang pahanya
ditepis oleh Tante Sis, dan berdiri dari duduknya, “To, saya tantemu
saya harap kamu jangan kurang ajar sama Tante, sekarang Tante harap kamu
keluar dari kamar tante sekarang juga!” Dengan nada marah Tante Sis
mengusirku.
Cukup kaget juga aku mendengar itu, dan dengan
perasaan malu aku berdiri dan meminta maaf, kepada Tante Sis karena
kekurangajaranku. Aku berjalan pelan untuk keluar dari kamar tanteku.
Sambil berjalan aku berpikir, aku benar-benar terangsang dan tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan ini. Sejak aku putus dengan pacarku, terus
terang kebutuhan biologisku kusalurkan lewat tanganku.
Setelah
sampai di depan pintu aku menoleh kepada Tante Sis lagi. Dia hanya
berdiri menatapku, dengan nafas tersenggal-senggal (mungkin marah
bercampur sedih menjadi satu). Aku membalikkan badan lagi dan di
pikiranku aku harus mendapatkannya malam ini juga. Dengan masa bodoh aku
menutup pintu kamar dari dalam dan menguncinya, lalu langsung berbalik
menatap tanteku. Tante Sis cukup kaget melihat apa yang aku perbuat.
Otakku sudah dipenuhi oleh nafsu binatang.
“Mau apa kamu To?” tanyanya dengan gugup bercampur kaget.
“Tante
mungkin sekarang Om sedang bersenang-senang bersama pacar barunya,
lebih baik kita juga bersenang-senang di sini, saya akan memuaskan
Tante”. Dengan nafsu kutarik tubuh tanteku ke ranjang, dia
meronta-ronta, tetapi karena postur tubuhku lebih besar (tinggiku 182 cm
dan beratku 75 kg, sedangkan Tante Sis memiliki tinggi tubuh sekitar
165 cm dan berat kurang lebih 50 kg) aku dapat mendorongnya ke ranjang,
lalu menindihnya.
“Lepasin Tante, Gito,” suara keluar dari
mulutnya tapi aku sudah tidak peduli dengan rontaannya. Dasternya
kusingkap ke atas. Ternyata Tante Sis tidak mengenakan celana dalam
sehingga terpampang gundukan bukit kemaluannya yang menggiurkan, dan
dengan kasar kutarik dasternya bagian atas hingga payudaranya terpampang
di depanku. Dengan bernafsu aku langsung menghisap putingnya, tubuh
tanteku masih meronta-ronta, dengan tidak sabar aku langsung merobek
dasternya dan dengan nafsu kujilati seluruh tubuhnya terutama
payudaranya, cukup harum tubuh tanteku.
Akibat rontaannya aku
mengalami kesulitan untuk membuka pakaianku, tapi pelan-pelan aku dapat
membuka baju dan celanaku. Sambil membuka baju dan celanaku itu, dengan
bergantian tanganku mengusap bukit kemaluannya yang menurutku mulai
basah (mungkin Tante Sis sudah mulai terangsang walaupun masih berkurang
tetapi frekuensinya agak menurun sedikit).
Dengan tidak sabar
aku langsung berusaha membenamkan kejantananku ke liang kewanitaannya.
“To, jangan To, aku Tantemu tolong lepasin To, ampun, Tante minta
ampun”. Aku sudah tidak peduli lagi rengekannya. Ketika lubang
senggamanya kurasa sudah pas dengan dibantu cairan yang keluar dari
liang kewanitaannya aku langsung menghujamkan senjataku.
“Auuhhh,
sakit To, aduh.. Tante minta ampun… tolong To jangan.. lepasin Tante
To..” Ketika mendengar rintihannya, aku jadi kasihan, tetapi senjataku
sudah di dalam, “Maaf Tante, saya sudah tidak tahan dan punyaku sudah
masuk ke dalam, saya akan berusaha membuat Tante menikmatinya, tolong
Tante sekali ini saja, biarkan saya menyelesaikannya,” bisikku ke
telinganya. Tante Sis hanya diam saja. Dan tidak berkata apa-apa.
Dengan
pelan dan pasti aku mulai memompa kemaluanku naik turun, dan Tante Sis
sudah tidak meronta lagi. Dia hanya diam pasrah dan kulihat air matanya
berlinang keluar. Kucium keningnya dan bibirnya, sambil membisikkan,
“Tante, Tante masih cantik dan tetap mengairahkan kok, saya sayang
Tante, bila Om sudah tidak sayang lagi, biar Gito yang menyayangi
Tante.” Tante Sis hanya diam saja, dan kurasakan pinggulnya pun ikut
bergoyang seirama dengan goyanganku.
Kira-kira 10 menit aku
merasakan liang kewanitaan tanteku semakin basah dan kakinya menyilang
di atas pinggulku dan menekan kuat-kuat (mungkin dia sudah orgasme), dan
tidak lama kemudian akupun mengeluarkan spermaku di dalam liang
senggamanya. Setelah pemerkosaan itu kami hanya diam saja. Tidak berkata
apa, hanya diam. Aku sendiri harus ngapain. Tanteku kembali menitikkan
air matanya. Dan aku pamit kepadanya, untuk keluar kamarnya, aku terus
merenung, mengapa bisa begini.
selesai..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar